23 November 2009

TAJUK

Melawan Penindasan dengan Karya
Mungkin tak semua bentuk perlawanan adalah kekerasan. Namun karya adalah anugerah Tuhan yang lebih berharga, tak lain untuk melakukan satu bentuk perubahan dari para sang panindas Bangsa.
Dalam buku ini terdapat serangkaian tinjauan, wawancara, dan kupasan atas buku, film dan musik perlawanan. Mereka dengan berkarya menunjukkan yang terbaik untuk bangsanya. Meskipun dalam sekilas mereka nampak sosok manusia yang tak memiliki harga apa-apa untuk bangsa. Baginya, tindakan positif adalah lebih utama, ketimbang hanya sekedar koar-koar meneriakkan perubahan. Buktinya, mereka justru penghianat bangsa sendiri.
Kita dapat mengenal buku-buku Das Kapital (Karl Marx), What is to be Done? (Vladimir llyich Lenin), Selection from the Prison Notebooks (Antonio Gramci), Guerilla Warfare (Che Guevara), Catatan Seorang Demonstran (Soe Hok Gie), Madilog (Tan Malaka), The Anarchist Cookbook (William Powel) dan masih banyak para pelawan bangsa penindas di tengah-tengah rakyatnya.
Dalam buku ini diberikan beberapa review atas film-film yang memuat deskripsi, kritik dan motivasi tentang gerakan perlawanan. Diantara sekian banyak film perlawanan, potret politik, deskripsi penindasan, dan analogi kegagalan ideologi, buku ini memberikan review atas film-film The Burning Season (film tentang gerakan petani pimpinan Chico Mendes di hutan karet di Brazil), The Motorcycle Diaries (diangkat dari buku harian dengan judul buku yang sama, kisah petualangan Che Guevara berkeliling Amerika Selatan dengan sepeda motor), Breaking the Slence (film semi dokumenter tentang dusta AS dan Inggris terhadap dunia prihal terorisme mereka), dan Goodbye, Lenin (potret satire Jerman Timur menjelang dan sesudah runtuhnya Tembok Berlin). Semua itu muncul bukan sekedar tinggal sejarah, akan tetapi menjadi satu gerakan yang mampu membangkitkan semangat para pemuda saat ini.
Bukan hal yang baru, bahkan sudah sejak lama musik akrab dengan isu-isu politik. Bahkan, para musisi rock sering mengkritik kebijakan negara ataupun kondisi dunia politik internasional. Pada era 1960-an, dunia rock memunculkan protes terhadap perang Vietnam. Lalu, generasi musisi yang seangkatan dengan The Beatless pun barangkali bisa menjadi contoh bahwa lirik mereka juga syarat kritik. Bahkan John Lennon adalah penanda yang juga memimpikan sosialisme seperti yang diimpikan oleh Karl Mark.
Generasi yang lebih muda dibanding meraka kemudian memilih protes tidak hanya melalui lirik lagu. Musik punk memih ekspresi yang lebih berani, mungkin karena zaman yang semakin terbuka. Misalnya, Bend the Clash yang dikenal dekat dengan gerakan-gerakan kiri yang melawan feodalisme Buckingham Palace. Atau yang juga old school punk seperti Sex Pistols.
Seiring dengan perubahan zaman, persoalan ditingkal globalpun mengalami pergeseran. Isu utama perlawanan kelompok rock pada era 60-an berkisar seputar perang Vietnam. Para musisi rock pemberontak era 80-an mengusung tema-tema perang Dingin dan perdamaian secara global. Pada 90-an, muncul band rock yang membawa isu antiglobalisasi maupun pasar bebas dan aparatusnya, seperti IMF, Word Bank, atau transnational corporation. Banyak para pelaku dunia musik yang memang sadar politik.
Musik adalah salah satu bentuk seni untuk menyampaikan ekspresi. Lirik-lirik lagupun menympan banyak makna atau pesan yang kuat tentang pelbagai hal. Beberapa kelompok musik dan pemusik pernah dan terus mencoba mengangkat berbaga permasalahan baik dibidang sosial, politik, dan aspek lainnya. Dalam konteks ini pula dunia sangat mencintai musik Bop Marley, sang legenda Reggae. Sosok yang dilahirkan di kota Jamaika ini mengangkat pelbagai masalah ketidakadilan melalui musik regae. Dia sadar bahwa yang terjadi di Jamaika juga terjadi dipelbagai tempat lainnya. Masalah diskriminasi, ketidakadilan hukum, dan kemiskinan merupakan berbagai tema dalam lagunya. Lewat musiknya, Bon Marley melakukan perlawanan terhadap sistem yang telah menindas banyak orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar