23 November 2009

CERPEN

Surat Misterius
Oleh ; Abdullah*
Untuk;
Orang yang masih punya hati.
……
Adakah rindu dihatimu…?
Aku mendapatkan bingkisan itu entah dari siapa dan dari mana datangnya. Semua serba cepat dan seketika. Bagai angin datang berlalu dan kembali lagi dengan sejuta serpih debu yang mengaburkan mata. Menyisakan rasa penasaran. Mengganggu istirahat dan waktu tenangku. Malaikatkah ? entah.
Sendiri di bawah lampu yang tidak terlalu terang tapi juga tidak terlalu merem – sedang-sedang saja. Ya, sederhana. Memang menjadi orang yang serba sederhana sulit tapi asyik. Maka aku ingin mencoba bagaimana menjadi orang yang sedang-sedang saja ; khairul umur ausatuhaa. Atau pasnya manusia setengah. Setengah dewa, setengah manusia, setengah tiang, setengah mateng, setengah CM, atau setengah jin ? ih, itu kan ilusi para musisi. Ini, bener lho, aku ingin benar-benar ingin menjadi manusia yang setia mengabarkan kesederhanaan bagi bangsa dan saudara-sadaraku diseluruh nusantara – aku mencoba mengingat-ingat kenalan, handaitaulan atau sanak family yang lagi hilang dalam kamus harianku.
Anakku,
Masih ingatkah engkau
Saat Bung Karno berucap sumpah ; merdeka?
Anakku, hutang budi kita
Pada para pejuang
Adalah harapan bukan janji
Anakku ; kutitipkan negeri ini
Tapi, masy Allah Indonesia
Negeri kita, anakku
“ sejenak aku berpikir, dan…….”
Indonesia, negeri itu, antara rimbun dahan tumbuh-tumbuhan di pelupuk katulistiwa, sepertinya aku masih merasa ada sisa senyuman yang dulu pernah aku rangkai. Seperti gelegak madu yang tak henti menawarkan dahaga. Ya, disanalah aku bertarung melawan pahit dan getir kehidupan. Disana pula aku menjadi pandu bagi para penunggu kedamaian yang selalu menanti datangnya banjir saat kerontang tanah tak lagi menyajikan semerbak harum kedamaian jasmani.
“ Aku teringat dengan wajah ibu yang telah melahirkanku, terakhir kali sebelum semua seperti sekarang”
“ Ibu, aku ingin mengelana ?”
“ Kemana, Nak?”
“ Kemana saja, Bu”
“ Jangan nekat” Sambil menyeka sisa keringat dikerut wajahnya ibu menahan keluh dan desah yang mendalam. Menjadi orang lemah memang problematis.
Akan tetapi, demikian mengasyikkan. Sangat menyenangkan. Kemiskinan adalah do’a. do’a adalah cinta yang akan selalu menjadi harison tiap panggal hari yang lama menanti datangnya kejujuran hati. Berbahagialah orang yang bersorak-sorai dengan tabah menjalani kemiskinannya. Miskin sejatinya adalah perjuangnan panjang untuk mampu memposisikan diri menjadi sesuatu yang hakiki.
“ Segala sesuatu yang di lakukan dengan jalan kesusahaan akan menyengsarakan “ lanjut ibu arif.
“ Aku pengen melanjutkan pendidikan ?”
“..?” ibu hanya mendesah mendengar kata-kataku. Sekuntum letih luluh membuncah dipelupuk mata yang mulai rimbun oleh kenangan sayu itu. Ada isak kepiluan yang belum tuntas ia teteskan. Aku pun berpikir tentang seorang pejuang yang mengorbankan segalanya demi kesejahteraan, bagitu juga dengan ibu.
Beberapa menit kemudian, keheningan malam menjadi pecah oleh pemuda yang berdikusi dengan semangat perubahan.
Ibu hanya membantu aku menghabiskan waktunya mengaji hati menyulam darah. Bersyair dengan suara merdu atas pesona tanah air yang sedang terkena penyakit maha pilu, kronis dan kritis. Kata beliau dalam untaian puisi yang ia tulis.
Setelah lama rembulan
Bercahaya
Matahari datang
Memancarkan terik
Membakar sisa embun
Menanar habis selaput darah bunga-bunga
Memuntahkan keringat
Merobek sebagian kain di angkasa
……………
Masya Allah, Indonesia
……………..
Di akhir kalimatnya ibu biasanya mengingatkan, “ anakku jadilah pejuang yang tangguh”
Ibu ! Yaps, aku berteriak sendirian. Langit biru, bulan tenggelam dibalik ufuk yang tak lagi memeram dahaga rindu. Hanya angin menghembuskan nyanyian kerontang pertanda ada sesuatu yang ganjil dan belum alam wujudkan. Kemarin siang para petinggi tanah ini melakukan gerakan separatis dengan menilep uang rakyat. Jadilah hukum menjatuhkan hukum mati bagi pelaku tindakan tersebut. Tapi, kemarin siang itu juga, dihari ulang tahunku, aku mendapat bingkisan surat dari seorang yang lama aku lupakan ; ibunda yang telah melahirkan aku, oh, betapa durhaka aku sebagai putranya.
Robek,,,
Patah,,,
Karat,,,
Muncratlah darah
Masya Allah, Indonesia
………………
Antara salah dan sesal.

*Penulis adalah study di UIN Sunan Kalijaga, di Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi Penyiaraan Islam, semester I