25 Juni 2009

Perempuan-Perempuan Liar

Sayup-sayup terdengar kumandang adzan Ashar dari masjid tua di perkampungan kumuh itu. Suara yang tak punya variasi dan monoton terdengar setiap waktu shalat masuk . Suara siapa lagi, kalau bukan suara Pak Imam Masjid itu, Pak Rojali yang sudah gaek. Seharusnya dia sudah tidak lagi memimpin Imam dan adzan setiap waktu shalat, mengingat umurnya yang sudah tua renta, namun kalau bukan dia siapa lagi, tak ada anak muda yang peduli ke masjid apalagi untuk adzan dan memimpin jadi Imam.

Walau setiap waktu shalat Pak Rojali selalu adzan tapi tak seorang pendengar pun yang tergugah hatinya atas panggilan shalat itu, kecuali dua tiga orang tua yang menjadi jamaah tetap di sana.

Memang telah demikian keadaan masyarakat di kampung itu, tak ada perubahan dari waktu ke waktu, benar-benar nyaris tak ada perubahan. Kecuali bangunan yang semakin menyedihkan, dinding papannya kian rapuh, dan telah banyak yang terlepas dan ada yang habis di makan rayap, onggokan-onggokan sampah hampir di tiap pojok menambah bau yang benar-benar tidak sedap, genangan-genangan air dalam botol-botol bekas yang membusuk dengan jelentik-jelentik ulat penyebab nyamuk bertebaran di mana-mana. Namun tak seorang pun yang peduli, kecuali pak Rojali yang sabar memperbaiki dan membersihkan semua itu.

Seketika itu orang-orang dikejutkan sebuah jeritan histeris, dengan rambut kumalnya dijambak-jambak, dengan tangisan yang histeris hingga warga kampung itu datang dan meninggalkan kegiatannya. Tak lama kemudian, kerumunan orang telah memadati pintu rumah Bang Gun, mereka tampak bengong menyaksikan Kak Ros isterinya bang Gun menangis meronta-ronta.

“Loch, ada apa? Apa yang terjadi?” tanya kak Rupian, yang ditanya terus menangis walaupun sudah sedikit mereda.

“Apa kau dipukul suamimu? Tanya yang lain, kak Ros menggeleng sambil terus terisak-isak.

“Suamimu ditangkap polisi?” Dia tetap menggeleng.

“Loch, jadi kenapa?” tanya yang lainnya, mulai jengkel.

“Suamiku hilang” jawabnya masih terisak.

“Hilang”, hilang kemana ?

“Dia pergi enggak bilang-bilang.”

“Lho, bukankah suamimu kalau pergi memang tak pernah bilang-bilang” kata Kak Rupian.

“Dia dibawa lari Lela, Lonte itu” Perempuan itu mulai menangis lagi. Orang-orang mulai paham kejadian itu, lelaki itu memang pernah beberapa kali dipergoki orang-orang kampung ketika singgah di rumah perempuan cantik bernama Lela yang tinggal bersama bego – anak janda Lela yang lahir tanpa nikah.

“Awas, akan kubunuh Lonte itu” teriak Kak Ros Geram.

“Akan kucincang-cincang, dagingnya kukasihkan untuk anjing. Dasar lonte tak tahu diri.”

“Sudah, sudah! Ngucap kamu, ngucap dik. Sergah kak Rupian.

“Sabar, sabar, Orang sabar disayang Tuhan” kata Kak Minah yang tak pernah menyentuh sajadah.

* * *


Saat itu bego sedang asyik bermain mobil-mobilan, sebenarnya namanya budi tapi karena pembawaanya yang tidak sempurna dan sikapnya seperti orang bodoh, anak-anak sebayanya memanggilnya bego. Tapi dia sama sekali tidak peduli dengan panggilan itu.

“Hei bego”, terdengar teriakan yang sedikit mengusik keasyikannya bermain. Dia mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara dengan sikap tak peduli.

“Hei, kau lihat suamiku? Kau tahu suamiku dibawa lari makmu? Bentak kak Ros.

“Mana kutahu, itu urusan mereka” dengan sikapnya yang acuh.

Mendengar jawaban itu, kak Ros menjadi jengkel dan geram. Ingin rasanya perempuan itu meremukkan kepala botak anak kecil itu, tapi Bego tak peduli, dia kembali asyik dengan mobil-mobilannya.

“Kurang ajar! Kau berani kurang ajar sama orang tua. Dasar anak lonte” maki Kak Ros sambil melepaskan sandal jepitnya dan melemparkan ke Bego. Sandal itu mendarat di punggung anak itu.

Bego yang masih asyik dengan mainannya terkejut. Sebelum sandal yang sebelah lagi melayang, anak itu sudah lari duluan. Tapi Kak Ros tak peduli, dikejarnya Bego sambil mengacungkan sandalnya. Bego terus lari semakin menjauh dari kejaran Kak Ros, lantas menghilang entah kemana.

“Dasar anak haram!” makinya geram.


* * *

Kak Ros kembali ke rumahnya dengan perasaan yang teramat kesal, ketika ini terdengar kembali kumandang adzan, menandakan telah masuknya shalat magrib. Namun tak ada yang peduli, orang-orang terus sibuk dengan pekerjaan dan dirinya sendiri, seakan tak ada waktu untuk memikirkan Tuhan. Sampai di rumah, Kak Ros kembali meronta-ronta seraya menghujati Lela yang membawa lari suaminya.

“Sudah lah dik, lupakan saja” bujuk Kak Rupian tetangga terdekatnya.

“Apa? Lupakan? Mana bisa!”

“Serahkan saja semuanya sama Tuhan. Allah pasti akan melemparkannya ke dalam neraka Jahannam!”

“Betul” sambung kak Minah.

“Dulu sewaktu suamiku dibawa lari lonte, aku tetap sabar, aku tak pernah peduli, karena aku sabar akhirnya aku mendapat gantinya Bang Mus yang baik, walaupun giginya ompong dan wajahnya runyam, lumayan daripada menjanda terus.

“Apa iya? Tanya kak Ros.

”Lah iya, yang penting kita selalu ingat dan mohon petunjuk pada-Nya. Iman kita akan bertambah” sambut Kak Rupian lagi.

“Apa bisa kita bertambah iman kalau tidak sembahyang?

“Lha, yang penting niat. Niat kita baik Allah tahu itu” sahut Kak Rupian.

Memang mereka semua jarang sembahyang kecuali bulan Ramadhan dan hari Raya. Selebihnya sesekali ketika ada penyambutan perayaan maulud nabi dan Isra’ Mi’raj.

Walau masih dengan kekesalannya namun kak Ros biasa mencoba menerima saran kak Rupian.

* * *

Sayup-sayup terdengar lagi kumandang adzan, menandakan masuk shalat isya. Masih suara dan nada yang sama. Orang-orang kampung itu pun masih dengan sikap yang sama tak begitu peduli pada panggilan itu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar