25 Juni 2009

Mahasiswa UIN, Nara Pidana Kampus

“Saya lewat UIN, sekarang sudah jauh beda dengan dulu ketika masih IAIN lo. Dulu itu suasananya seakan sangat ramah antara mahasiswa dengan masyarakat. Pedagang Kali Lima masih banyak, tembok gak ada, suasananya masih rindang. Kalau sekarangkan enggak, mahasiswa terasa kayak dipenjara gitulo. PKL gak ada, malah diusir semua. Gak dicarikan tempat lagi. Malah yang lebih parah, masjid IAIN sekarang gak ada, belum jadi cuma kerangkanya doang itu”, ungkap pak Budi, editor penerbit buku Delokomotif ketika ngobrol dengan penulis.


Memang, UIN sekarang terasa kaku dan terpenjara karena dinding batu yang menjulang tinggi, pagar jeraji besi yang mengerikan. Coba bayangkan, apa yang bisa diambil hikmahnya dari tembok-tembok yang mengelilingi banguna UIN Suna Kalijaga Yogyakarta. Bangunan tembok yang menghabiskan sekian milyar uang mahasiswa, ditambah dengan hutang kepada Islamic Development Bank (IDB). Apa agar mahasiswa tidak tertabrak mobil, ataukah biar UIN Nampak terihat indah dan lain sebagainya. Sungguh tidak rasional bukan.


“Kita itu sekarang sudah terpenjara lo…! Terpenjara kratifitasnya…!”, tutur Mala, mahasiswa Saintek disela-sela diskusi bersama creu Rhetor. Itu juga benar. Berbagai sistem dan kebijakan birokrasi telah memenjarakan kreatifitas mahasiswa; Student Center yang malam tutupnya sampai jam 22;00, sarana dan prasarana dalam berbagai keilmuan belum maksimal terpenuhi, dan masih banyak lagi yang belum sehati dengan mahasiswa UIN.


Ternyata, ditambah lagi mahasiswa dipenjara oleh tembok-tembok berlin yang sama sekali tidak menguntungkan mahasiswa. Terpenjara kreatifitas dan terpenjara tembok. Mahasiswa UIN tak ubahnya nara pidana kampus.


*Oleh, Khoirom, PU Rhetor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar